Demi Ibu, Kujual Negeriku

Judul buku                  : Burung-Burung Manyar

Penulis                         : YB. Mangunwijaya

Jumlah halaman           : 319

Penerbit                       : Djambatan

Cetakan                       : Ketiga belas, Mei 2004

Roman yang berjudul Burung-Burung Manyar ini adalah sebuah masterpiece yang merangkum kisah di masa revolusi Indonesia dari segi yang objektif. YB Mangunwijaya memposisikan tokoh utamanya dengan berani—memberinya karakter yang bahkan anti Republik. Tapi, justru pembangunan karakter itulah yang memberikan energi tersendiri dalam novel ini. Dari diri tokoh protagonisnya itulah, pelajaran utama dari kisah tragis ini dapat kita ambil

Setadewa, atau yang akrab dipanggil Teto, adalah seorang “anak kolong”. Ayahnya adalah seorang loitenant KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sedangkan dalam diri ibunya mengalir darah Belanda. Seta mempunyai seorang sahabat masa kecil bernama Larasati atau yang biasa dipanggil Atik. Larasati sendiri adalah seorang keturunan darah biru dari ibunya yang merupakan saudara tiri Pangeran Hendraningrat dari Keraton Mangkunegaran.

Tak banyak kisah romantisme di zaman revolusi yang berakhir dengan happy ending. Begitu pula dengan kisah Setadewa dan Larasati. Ada alasan yang membuat Seta pada akhirnya memilih untuk menjadi seorang kaptein KNIL, yaitu karena ia begitu menaruh dendam pada Jepang yang telah mencoreng kehidupan ibunya. Sedangkan sahabat masa kecilnya itu justru menjadi seorang juru ketik yang mendedikasikan hidupnya untuk tanah airnya. Sebuah pertalian asmara yang begitu jauh dan berkontradiksi.

Sebuah tragedi yang paling menyakitkan bagi Seta adalah garis takdir yang dijalani ibunya. Wanita bernama Marice itu berada dalam keputusan sulit setelah suaminya tertangkap tentara Jepang. Ultimatum dari kepala Kenpeitai itu merupakan pilihan yang serba salah, seperti makan buah simalakama. Ia harus memilih: suaminya mati atau ia menjadi gundik kepala Kenpeitai. Dan wanita itu, tanpa mempedulikan harga dirinya lagi, memilih yang terakhir. Bagi Seta, itu adalah sebuah pengorbanan seorang ibu yang tak ternilai harganya.

Tragedi itulah yang membuat Seta menjadi—menurut istilahnya—pengkhianat dan penjual negeri sendiri. Terlebih lagi karena perjuangan ibunya, yang telah menjadi sundal Jepang itu, ternyata sia-sia. Kehidupan wanita itu berakhir di rumah sakit jiwa. Kalimat yang selalu diucapkannya hanyalah, “Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji.” Dengan kata lain, tidak akan ada gunanya lagi mencari suaminya di antara tawanan Jepang. Sebab Jepang telah ingkar janji padanya.

Kisah ini berakhir dengan memilukan. Kisah cinta yang menyayat hati karena kehadiran orang ketiga, juga kisah hidup yang mengharukan karena banyaknya perjuangan di dalamnya. Marice memberi pembaca pelajaran tentang kesetian seorang istri yang tiada terkira, bahkan membuat Seta sendiri tak tahu harus bangga atau harus membenci ibunya itu. Pesan moral tentang jiwa nasionalisme juga disampaikan dengan sangat bagus. Kisah cintanya pun memberi pembaca hikmah tentang ketulusan dan kerelaan. Hanya saja, kadang penulis melupakan detil karakter tokoh-tokoh figurannya.

Di zaman sekarang, banyak orang yang sudah menamatkan buku-buku asing, sementara karya-karya dalam negerinya sendiri tak pernah disentuh. Walaupun terbilang sudah sangat tua, tapi buku ini tak akan menjenuhkan untuk dibaca generasi muda karena selera humor penulisnya yang tinggi. Membacanya seperti memahami sejarah Indonesia dengan cara yang menyenangkan.

2 thoughts on “Demi Ibu, Kujual Negeriku

  1. Kisah cinta yang ironis.
    Apalagi kecintaan Teto sama bunda yang bikin dia berkorban ‘menjual’ negara.
    Mangunwijaya bisa mengangkat peran antagonis buat pemeran utamanya. Keren! Bisa dijadiin contoh tuh Mbul 😀

Leave a comment